Follow Dashboard
TITLE; Cinta Kota Kufah ♥
Sabtu, 8 Disember 2012 | 2:22 PTG | 0 comments

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Sehilir angin yang bertiup dari utara membawa angin berhawa sejuk. Sebagian rumah telah ditutup pintu dan tingkapnya. Namun kelihatan cara kehidupan di Kota Kufah yang liat.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, kerana kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenali masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada waktu itu. Sebahagian besar waktunya ia dihabiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama' terkemuka Kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat pemerhatian.

Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai terkujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagaikan mencium aroma yg wangi para bidadari yg suci.

Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis, “fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha. Qad aflaha man zakkaaha. Wa qad khaaba man dassaaha …”, bermaksud maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. Hatinya bertanya-tanya, apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataupun golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi? Ayat itu dilontarkan berulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya bergoncang. Akhirnya ia pengsan.

----------

Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemerlapan. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan memelihara haiwan ternakan yang tak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,

“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si musyriqun bi dhau’ wal hubb al wariq …”

 ( jika aku pencinta malam maka jelasku memancarkan cahaya dan cinta yang mekar …)

----------

Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orang tuanya mengukir senyuman mendengar syair yang didendangkan oleh puterinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah bait-bait syair yang dia dendangkan.”

“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”

“Bagaimana, kau terima atau…?”

“Ya, dengan pantas aku menerimanya. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita diwaktu kita susah. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”

“Tapi bukankah lebih baik kalau kita minta pendapat Afirah dahulu?”

“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”

“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”

“Ah, itu senang. Nanti jika sudah beristerikan, Afirah, dia juga akan bertaubat. Yang penting dia kaya raya."

----------


Pada saat yang sama, di sebuah bangunan mewah, tak jauh dari pasar Kota Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gegendang dan seruling.

“Bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan jelingan matanya pada kamu,” bisik temannya.

“Be ... benarkah?”

“Benar. Ayuh cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”

“Baiklah. Berseronok-seronok bersama dia memang menjadi impianku."

Yasir lalu bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam alunan muzik itu. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir, “Apakah anda mempunyai waktu malam ini bersamaku?” ....

Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling menengking-nengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan mekarlah sekuntum bunga cinta.

Keesokan harinya, selepas selesai solat Dhuha,  Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Beliau berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Dia sempat singgah ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan epal untuk saudaranya yang sakit itu.

Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahawa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapak jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap dari kejauhan yang terlihat dan beliau kesana perlahan-lahan bayangan itu menjadi seseorang yang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,

“Tolong! Tolong!”

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang tidak jauh di hadapannya. Dia menghentikan langkahnya. Suara yang hasilnya dari penunggang kuda itu semakin jelas.

“Tolong! Tolong!”

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas boleh meneka bahawa penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Tidak lama kemudian, kuda itu berlari dengan kencang.

“Tolong! Tolong hentikan kudaku ini! Dia tidak boleh dikendalikan!”

Mendengar suara itu yang begitu serious meminta pertolongan, Zahid tegang. Apa yang harus dia lakukan? Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di hadapannya. Cepat-cepat dia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras, “Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu merengek dan berhenti seketika. Perempuan yang berada dipunggung kuda tersebut terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya, “Assalamu’alaiki. Saudari tidak apa-apa?”

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab perlahan, “Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terseliuh waktu jatuh tadi.” “Syukurlah kalau begitu.” kata Zahid.

Dua mata bening di balik cadar itu terus memandang wajah tampan Zahid. Menyedari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa pengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan mempesona, “Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mahu ke mana, Tuan?”

Zahid mengangkat mukanya. Tatkala, matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar hebat. Saraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya dia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya kedua-duanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersedar, dia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya. 

“Namaku Zahid, aku dari masjid mau hmengunjungi saudaraku yang sakit.” 

“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”

“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Dia lalu melangkah meninggalkan saudari tersebut.

“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mahu kemana? Perbincangan kita belum selesai!”

“Aku mahu melanjutkan perjalananku!”

Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid terkejut. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di hadapannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini. “Tuan aku hanya mahu katakan, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mahu silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mahu menghadiahkan ini.”

Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.

“Tidak usah.”

“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau Tuan tidak menerimanya, aku tidak akan membenarkan Tuan pergi!”

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu mengetepikan dirinya, sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

----------

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar bulan yang terang cahayanya bak lampu spotlight. Angin sejuk dari utara bertipu kasar. Kedinginan terasa.

Afirah terkujur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya? Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari selaput matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesolehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan kewibawaannya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelum ini. Dalam hati ia berkata,

“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengalir melalui saraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Robbi, aku tak menyangka bahawa aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Robbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang dia berikan pada Zahid. Tiba-tiba dia tersenyum dan berkata, “Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”

Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.

----------

Sementara itu di dalam masjid Kota Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Dia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi dia tidak boleh mengendali gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah betul-betul menangkap hatinya dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintasi kekusyukkannya di dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang dia sedang kerjakan. Dia telah mencuba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.

“Ya Allah, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ya Ilahi, berilah padaku secawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menitis-nitis dalam dinding hatiku ini. Ya Allah, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau redhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Esak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan alam semesta.

Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus dia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pengsan.

Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak terkejut. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Dia menangis, dia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.

“Ya Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ya Ilahi, hambamu lemah maka berilah kekuatan!”

Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,

“Ya Ilahi, hamba mohon redha-Mu dan syurga-Mu. Amin. Ya Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ya Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ya Ilahi, hamba memohon ampun-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan redha-Mu. Amin.”

----------

Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas iaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejap untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan saksama perbicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, iaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan penuh debar jawapan ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawapan yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”

Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Dia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Dia tidak boleh menyembunyikan hirisan kepedihan hatinya. Dia memohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pengsan saat itu juga.

----------

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang dia baru dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali dia pengsan. Ketika keadaannya kritikal seorang jemaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.

Khabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan khabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sedarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.

Zahid,

Kalau kau mahu. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengubati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita boleh memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam
Afirah

----------

Surat itu dia titipkan pada seorang pembantu setianya yang boleh dipercayai. Dia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawapan Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan linangan air mata ia menulis untuk Afirah, 

Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata kerana rasa cintaku padamu. Sakitku ini kerana aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diredhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang mengheret kepada kita dosa dan murka-Nya.

Afirah,

Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengubati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari syurga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan seksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )

Afirah,

Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang boleh aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :

“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (iaitu syurga).”

Kerana aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha mencari kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allah lah yang menentukan.

Afirah,

Bersama surat ini aku sertakan serbanku, semoga boleh menjadi penglipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam,
Zahid

----------

Selepas membaca surat jawapan Zahid itu, Afirah menangis. Dia menangis bukan kerana kecewa tapi menangis kerana menemukan sesuatu yang sangat berharga, iaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda yang soleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Serban putih pemberian Zahid ia jadikan sejadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon keampunan dan rahmat Allah SWT. Siang dia berpuasa malam dia menghabiskan masanya dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sejadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, iaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.

Wassalam,
Afirah

----------

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta mekar dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan Alhamdulillah.

Sekian .......

0 Comment(s)

Old things | New things